Samsung tutup pabrik terakhirnya di Tiongkok dan beralih ke Vietnam dan India

Samsung Electronics menutup pabrik ponsel terakhir mereka yang tersisa di Tiongkok. Samsung mengkonfirmasi pada hari Selasa (1/10) kemarin bahwa fasilitas manufaktur mereka di Huizhou, Provinsi Guangdong, telah memproduksi ponsel terakhir pada 30 September. Samsung mengatakan penutupan itu merupakan bagian dari strategi "penyesuaian produksi global."


Pada masa jayanya, kompleks Samsung di Huizhou adalah pabrik ponsel terbesar di Tiongkok, memproduksi satu dari lima smartphone yang dijual di Tiongkok pada tahun 2011. Samsung Electronics Huizhou juga merupakan pabrik smartphone Samsung terakhir di Tiongkok setelah Samsung menutup fasilitasnya di Tianjin pada bulan Desember 2018, setelah sebelumnya menghentikan produksi peralatan jaringan pada bulan April 2018 di pabriknya di Shenzhen.

“Lampu jalan disini dulunya dihiasi dengan papan iklan Samsung yang menarik. Sekarang semuanya sudah hilang,” kata salah seorang penduduk di Huizhou.

"Sewa untuk satu kamar telah turun dari 500 yuan menjadi hanya 200 atau 300 yuan tetapi masih juga terus kosong," kata seorang penduduk di Huizhou lainnya yang memiliki usaha penginapan.

Pabrik Samsung di Huizhou didirikan pada 24 Agustus 1992, empat hari sebelum pembentukan hubungan diplomatik antara Tiongkok dan Korea Selatan, ketika Samsung menandatangani kontrak usaha patungan dengan pemerintah kota Huizhou. Setahun kemudian, pabrik dengan modal terdaftar US$32 juta (sekitar 454 miliar rupiah) mulai beroperasi, dan sejak itu telah menghasilkan produk elektronik konsumen terbaru dan paling populer dengan merek Samsung, mulai dari perangkat audio stereo pada 1990-an, pemutar MP3 pada awal 2000-an dan ponsel sejak 2007. Pada tahun 2011, ketika penjualan smartphone Samsung berada di peringkat 1 di dunia, dua pabriknya di Huizhou dan Tianjin memproduksi dan mengekspor masing-masing 70,14 juta dan 55,64 juta ponsel.

Bangkitnya produsen ponsel Tiongkok seperti Huawei, OPPO dan Xiaomi di kandang mereka sendiri membuat pangsa pasar ponsel Samsung di pasar Tiongkok telah menurun dengan cepat, turun menjadi di bawah 1 persen tahun lalu dari 20 persen pada 2013 berdasarkan data dari firma riset Strategy Analytics. Selain itu, meningkatnya biaya tenaga kerja adalah faktor lain yang membuat Tiongkok kurang menarik untuk dijadikan basis produksi.

Adapun untuk produksi smartphone yang sebelumnya ditangani oleh pabrik Huizhou, Samsung memiliki dua opsi: menambah jumlah ponsel yang dibuat secara outsourcing oleh perusahaan ODM di Tiongkok, seperti yang dilakukan oleh produsen Tiongkok lainnya seperti Huawei, OPPO dan Xiaomi, atau beralih ke pabrik mereka sendiri yang semakin berkembang di Vietnam dan India, di mana Samsung telah banyak berinvestasi dalam beberapa tahun terakhir.

Presiden Samsung Koh Dong-jin (DJ Koh), yang mengepalai bisnis IT & Mobile Communications (IM) di Samsung Electronics, menyarankan pada konferensi pers pada bulan Agustus bahwa perusahaannya akan secara bertahap meningkatkan produksi ODM. Jika ODMs dapat memenuhi "kriteria" yang telah ditetapkan oleh Samsung, akan sangat masuk akal untuk melakukan outsourcing produksi kepada mereka, katanya.

Galaxy A6s, ponsel yang dirilis di pasar Tiongkok pada bulan November tahun lalu, adalah ponsel ODM pertama Samsung. Ini adalah ponsel Samsung tetapi dibuat oleh Wingtech yang berbasis di Provinsi Zhejiang. Selain Samsung, Wingtech sebelumnya juga memproduksi smartphone buat Xiaomi dan OPPO.

Menurut IHS Markit, 3 persen ponsel Samsung tahun lalu adalah produk ODM. Diperkirakan angka ini akan mencapai 20 persen tahun depan. Dalam pengaturan ODM, pemasok tidak hanya produsen yang mengikuti pesanan produk; mereka juga bertanggung jawab untuk pengembangan dan desain. Berita itu menimbulkan ketidakpastian bagi pemasok suku cadang domestik yang sudah menjadi mitra Samsung selama ini.


Perusahaan teknologi dunia mulai meninggalkan Tiongkok

Tanda-tanda bahwa Samsung sedang bersiap untuk mengakhiri produksi di pabrik Huizhou muncul pada bulan Juni ketika para staf mulai dirumahkan. Jumlah karyawan di pabrik Huizhou telah turun menjadi sekitar 4.000 dari sekitar 9.000 pada tahun 2013, ketika Samsung berada di peringkat No 1 di pasar smartphone Tiongkok dengan penguasaan 20 persen.

Samsung China menolak berkomentar meskipun ada laporan di media Tiongkok dan Korea Selatan bahwa perusahaan itu terus memangkas produksi dan memberhentikan pekerja di pabrik Huizhou di tengah melambatnya penjualan smartphone karena terus menggeser produksi ke lokasi yang lebih murah di Vietnam, India dan negara-negara lain di Asia tenggara dan Afrika.

Pada kuartal pertama 2019, ekspor smartphone Samsung dari Huizhou turun 20,1 persen dari periode yang sama tahun lalu, berdasarkan data dari bea cukai Tiongkok. Runtuhnya Samsung China juga meningkatkan kekhawatiran yang lebih luas atas masa depan ekonomi Tiongkok dan peran negara itu dalam rantai pasokan global, terutama pada saat Amerika Serikat (AS) melancarkan perang dagang melawan Tiongkok.

Dan sementara Samsung bisa mengambil hikmah yang baik dari kesalahan mereka sehingga harus kehilangan pangsa pasar smartphone mereka di Tiongkok, fakta lain yang mengemuka adalah Samsung tidak hanya menutup pabrik-pabriknya di Tiongkok tetapi malah terus memperluas produksinya di Vietnam dan India. Pergeseran produksi dari Tiongkok ke Asia Tenggara, India, dan bahkan Afrika, terutama untuk manufaktur padat karya dan perakitan yang relatif murah, telah terjadi setidaknya satu dekade karena meningkatnya biaya tenaga kerja dan sewa, pajak tinggi dan resesi ekonomi. Tetapi proses tersebut telah menunjukkan tanda-tanda akselerasi yang jelas sejak Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mulai mengenakan tarif pada produk-produk Tiongkok hampir setahun yang lalu.

Daripada memproduksi di Tiongkok, Samsung lebih memilih untuk membuka fasilitas manufaktur ponsel terbesar di dunia di pinggiran ibukota India di New Delhi tahun lalu dan di provinsi utara Bac Ninh di Vietnam. Pabrik Samsung di India dan Vietnam tersebut pada akhirnya masing-masing akan memiliki kapasitas untuk merakit 120 juta smartphone per tahun, yang bisa membuat segalanya mulai dari handset kelas bawah yang harganya kurang dari sejutaan rupiah hingga model andalan seperti seri Galaxy S dan Note.

Begitu juga dengan Foxconn, perusahaan Taiwan yang mempekerjakan setidaknya satu juta karyawan di wilayah Tiongkok untuk merakit iPhone maupun iPad atas pesanan Apple. Foxconn pernah mengatakan bahwa mereka telah memiliki kapasitas yang cukup di luar Tiongkok untuk mengakomodasi semua produksi produk Apple yang akan dikirim ke AS, jika memang AS mengenakan bea masuk yang semakin mahal untuk barang-barang buatan Tiongkok. Pernyataan Foxconn, ditambah Samsung yang telah meninggalkan Tiongkok dan berita bahwa sejumlah perusahaan teknologi dunia seperti Cisco dan Oracle yang juga berencana mengurangi produksi di Tiongkok, dapat memiliki implikasi serius bagi stabilitas ekonomi dan ketenagakerjaan domestik di Tiongkok serta posisinya dalam rantai pasokan global.

Samsung dan Foxconn adalah perusahaan manufaktur terbesar di dunia. Jika produksinya dikurangi atau meninggalkan Tiongkok sepenuhnya, setidaknya ratusan hingga ribuan pabrik pemasok di Tiongkok yang sebelumnya menjadi mitra kedua perusahaan tersebut akan ditutup. Hal ini ditambah arus perdagangan yang sebelumnya, di mana Tiongkok mengimpor komponen dari Korea Selatan, Jepang dan Taiwan untuk dikumpulkan dan kemudian mengekspor kembali produk itu ke pasar Eropa dan AS sudah surut. Menurut data bea cukai Tiongkok, impor dari Korea Selatan turun 13,1 persen dalam lima bulan pertama 2019, sementara impornya dari Jepang turun 6,7 persen dan dari Taiwan sebesar 6,9 persen.

Bern Optical, sebuah pabrik yang diinvestasikan Hong Kong di Huizhou yang menyediakan kaca penutup untuk produk Apple dan Samsung, dengan terpaksa telah memangkas 8.000 pekerja mereka sejak November tahun lalu karena berkurangnya pesanan komponen. Janus yang terdaftar di Shenzhen, pembuat komponen presisi yang berbasis di Dongguan dan menerima subsidi dari pemerintah Guangdong, telah melaporkan penurunan sebesar 14,25 persen untuk penjualan tahun lalu yang mengakibatkan kerugian bersih sebesar 2,86 miliar yuan (sekitar 5,7 triliun rupiah). Defisit yang sangat besar ini disebabkan oleh Samsung, klien terbesar dari Janus, yang berhenti memesan dari Janus pada kuartal keempat tahun lalu, yang mengakibatkan penurunan pesanan untuk komponen presisi elektronik konsumen senilai 2,408 miliar yuan (sekitar 4,8 triliun rupiah).

Sebagai tanggapan, pemerintah Tiongkok telah berusaha menangani keluhan oleh produsen asing dengan berjanji bahwa mereka akan disambut dan dilindungi di Tiongkok. Pemerintah Beijing telah bergegas melalui undang-undang investasi asing tahun ini untuk memberikan perlindungan hukum bagi kekayaan intelektual milik asing dan melarang transfer teknologi secara paksa.

Beberapa analis menyoroti langkah pemerintah Tiongkok ini sebagai upaya untuk menghindari decoupling, pengucilan ekonomi Tiongkok dengan belahan dunia lainnya oleh AS. "Beberapa orang Amerika ingin melihat decoupling dari kedua negara dalam hal perdagangan dan teknologi, tetapi Tiongkok harus bersikeras bekerja dengan negara-negara lain, termasuk AS, di bidang perdagangan dan teknologi," kata Wang Ji-si, seorang pakar hubungan Tiongkok-AS.