Samsung dan Xiaomi, mantan jawara pasar smartphone Tiongkok yang kini terpuruk

Sempat menjadi merek No.1 di Tiongkok, Samsung terpaksa harus menyerahkan sebagian besar pangsa pasarnya kepada pesaing mereka asal Tiongkok yang tumbuh cepat dengan kemampuan yang cepat untuk memenuhi permintaan konsumen di pasar smartphone terbesar di dunia. Begitu juga dengan Xiaomi yang ingin mengambil keuntungan dari larangan perdagangan dari Amerika Serikat (AS) untuk Huawei dengan mendorong pertumbuhan secara internasional, setelah pangsa pasarnya terus menyusut di Tiongkok.


Samsung

Setelah menjadi merek No.1 di Tiongkok, Samsung telah menyerahkan sebagian besar pangsa pasarnya kepada pesaing mereka asal Tiongkok yang tumbuh cepat dengan kemampuan yang cepat untuk memenuhi permintaan konsumen di pasar smartphone terbesar di dunia.

Pernah menjadi pemain smartphone yang dominan di pasar Tiongkok, Samsung Electronics kini berada di peringkat bawah di antara merek-merek besar asal Tiongkok dengan hanya pada kisaran 1 persen untuk pangsa pasar di daratan Tiongkok. Dengan mempertimbangkan bahwa raksasa teknologi Korea Selatan (Korsel) ini menguasai 20 persen pangsa pasar smartphone di Tiongkok lima tahun lalu, Samsung kini bagaikan jatuh dari tebing yang sangat tinggi, dengan para analis sepakat untuk menyalahkan pada kegagalannya dalam melokalkan produknya untuk bisa memenuhi permintaan konsumen Tiongkok.


Faktor-faktor penyebab lainnya termasuk dari segi politik sebagai imbas dari perselisihan antara Korsel dan Tiongkok, dimana pemerintah Tiongkok bersekongkol untuk menjatuhkan pasar perusahaan asal Korsel - termasuk Samsung - di Tiongkok. Ketegangan geopolitik di Asia Timur telah meningkat mulai 2016 karena Tiongkok menggunakan kekuatan lunaknya yang besar untuk menekan tetangganya ketika merasa kepentingan nasional mereka terancam.

Keputusan Seoul untuk menerima tawaran AS untuk menggunakan sistem rudal anti-balistik Terminal High Altitude Area Defense (THAAD) di Korsel telah membuat gusar pemerintah Beijing. Awalnya hal ini sulit dipahami, mengapa Tiongkok sangat menentang sistem pertahanan yang tidak ada gunanya selain menembak jatuh rudal yang sedang dalam perjalanan untuk menyerang target Korea Selatan. Setelah serangkaian uji coba rudal oleh Korea Utara (Korut) dari tipe yang bisa ditangkal oleh THAAD, tentunya wajar bagi Korsel untuk mempersiapkan diri dari ancaman terburuk.

Akhirnya bisa dimengerti bahwa keberatan Tiongkok untuk THAAD berdasar pada kecurigaan terhadap AS yang diam-diam bermaksud untuk menjadi bagian dari sistem pertahanan rudal regional yang akan 'mengelilingi' Tiongkok, dan akan menggunakan sistem radar THAAD untuk bisa 'melihat' ke dalam wilayah Tiongkok. Padahal sistem regional seperti itu akan membutuhkan kesepakatan yang sangat luas di antara negara-negara di kawasan ini, termasuk Jepang dan Korsel, dan untuk menerapkan implementasi teknis dari sistem seperti itu juga akan membutuhkan proses yang panjang dan penuh pertimbangan.

Tidak hanya merek asal Korsel yang dipersulit pemasarannya di Tiongkok, artis dari panggung musik Korea yang penuh warna, K-pop, secara misterius juga dilarang memasuki Tiongkok untuk tampil, serta acara TV dan film Korea juga diblokir, dengan para aktor Korsel digantikan oleh bintang-bintang Tiongkok dalam kampanye iklan waktu itu. Pemerintah Beijing juga mendorong warganya untuk memboikot produk Korea dengan menyebarkan propaganda bahwa Korsel telah menjadi antek AS.

"Serangan balasan anti-Korea membuat konsumen Tiongkok enggan membeli ponsel Korea sampai batas tertentu tahun lalu," kata kata James Yan, Direktur Riset di Counterpoint.

Dalam upaya untuk mendapatkan kembali pangsa pasarnya yang hilang, Samsung kemudian melibatkan beberapa selebriti lokal paling populer di Tiongkok, seperti Zhu Yawen dan Jing Boran, sebagai endorser untuk model smartphone terbaru mereka.

"Kinerja buruk Samsung di Tiongkok berasal dari fakta bahwa mereka tidak dapat mengimbangi persyaratan konsumen di Tiongkok dan pada saat yang sama pemain domestik menjadi proaktif untuk memenuhi permintaan pengguna," kata Yan.

Nasib Samsung yang menyusut di Tiongkok sejajar dengan peningkatan merek domestik Tiongkok seperti Huawei, Xiaomi, Oppo dan Vivo, yang kini secara gabungan menguasai hingga hampir 90 persen dari pasar lokal. Dalam dua tahun terakhir tidak ada model smartphone Samsung yang masuk daftar 10 ponsel terlaris di Tiongkok. Hal ini berbanding kontras dengan tahun 2013 dimana merek Korea tersebut selalu berada di peringkat 1 dan dipandang sebagai pemimpin teknologi dan desain di kalangan anak muda Tiongkok.

Berdasarkan wawancara dengan mantan pengguna Samsung, mungkin dibutuhkan lebih dari dukungan selebriti dan model ponsel baru bagi perusahaan Korea itu untuk mendapatkan kembali kepercayaan konsumen Tiongkok yang hilang.

Upaya pelokalan Samsung yang lemah memicu konsumen di Tiongkok untuk menjauh. Misalnya, meskipun kamera ponsel Samsung mampu mengambil gambar berkualitas tinggi, namun tidak bisa memenuhi tuntutan pengguna Tiongkok ketika berhubungan soal fungsi seperti peningkatan "beauty effect" untuk selfie. Merek domestik seperti Oppo, Vivo dan Xiaomi sangat menyadari permintaan konsumen Tiongkok akan selfie dan wefie, dan juga obsesi mereka untuk bermain game mobile. Kampanye pemasaran Oppo untuk fungsi selfie-nya dapat dilihat di mana-mana di kota-kota lapis kedua dan ketiga di Tiongkok, yang menjadikan model andalannya sangat populer di negara itu.

"Yah, aku hanya ingin terlihat putih ketika aku memposting foto secara online. Di foto aslinya, aku terlihat agak berkulit gelap dan memiliki jerawat," kata Wang Hua, seorang akuntan bisnis berusia 33 tahun. Percaya diri dan modis, Wang merasa nyaman dengan dirinya sendiri hampir sepanjang waktu, tetapi tidak sepenuhnya puas dengan situasi kulitnya. “Kamera ponsel membantu membuat kulitku terlihat sempurna dan warnanya lebih baik, karena filter membuat jerawat yang ada di mukaku hilang,” lanjutnya.

“Jika aku ingin memotret pemandangan jauh yang tidak menonjolkan wajahku dengan begitu jelas, aku tidak butuh beauty camera. Yang kubutuhkan dari kamera ponsel adalah untuk memperindah kulitku. Siapa yang tidak mendambakan kulit putih dan mulus, bukan?” Wang menyimpulkan.


Preferensi untuk kulit yang lebih putih dan pucat memiliki sejarah yang sangat panjang di Tiongkok. Menurut pepatah Tiongkok kuno, 'satu yang berkulit putih mampu menutupi seratus yang jelek'. Pilihan estetika ini juga merupakan cerminan dari nilai-nilai sosial. Di jaman Tiongkok kuno, kulit putih seorang wanita adalah simbol status dan kekayaan. Mereka yang lahir atau tinggal di keluarga kaya atau bangsawan cenderung memiliki kulit yang lebih cerah, karena mereka menjalani kehidupan yang lebih nyaman dan tidak perlu memaparkan diri ke matahari.

Tidak hanya membuat kulit menjadi lebih putih dan mulus, fitur artificial intelligence (AI) pada kamera yang sering diklaim oleh vendor smartphone Tiongkok juga mampu 'merubah' wajah seseorang agar sesuai dengan standar kecantikan disana.

“Beauty camera saat ini menawarkan seluruh paket. Tidak seperti kamera asli pada ponsel, di mana aku perlu melakukan peregangan untuk menemukan sudut yang sempurna atau cahaya yang cocok, beauty camera dapat membuat kulitku menjadi cerah dan menghilangkan kantong hitam di bawah mataku hanya dengan satu klik mudah.​​”

Sun Hewen, 25 tahun, mengaku telah menggunakan beauty camera sebanyak dia memakai riasan di wajahnya. Buat yang semuda dan semenarik dia, yang dibutuhkan cuma efisiensi dan peningkatan fitur wajahnya. “Aku menggunakan beauty camera ketika aku mengambil foto selfie atau foto grup selama perjalanan atau di pesta. Ini sangat nyaman dan membantu selama acara sosial."

"Kau tahu, aku pikir gadis-gadis dengan mata besar dan polos, hidung tinggi tanpa 'sayap hidung' yang lebar dan 'mulut berbentuk W' jauh lebih menarik," kata Sun tersenyum. “Aku pikir mulut seperti itu sangat lucu. Oh, dan aku lebih suka wajah oval."

“Karena itu aku menggunakan beauty camera yang secara otomatis dapat meningkatkan fitur wajahku - mata yang lebih besar, wajah yang lebih kecil, gigi yang lebih putih dan yang lainnya. Aku tidak perlu mengedit foto nanti. Itu dilakukan ketika foto diambil."

Sun tidak melebih-lebihkan. Sebagian besar kamera yang ada di smartphone buatan Tiongkok telah dilengkapi fitur AI yang tidak hanya bisa mempercantik wajah, tetapi juga bisa dipadukan dengan pilihan stiker yang aneh.

Di media sosial Tiongkok, seperti Sina Weibo dan WeChat, ada tren kontroversial wajah berbentuk-V di kalangan selebritas online. Mereka memposting foto mata yang sangat besar, mulut kecil dan dagu yang tajam, yang dibuat dengan menggunakan beauty camera atau melalui operasi plastik. Operasi plastik semakin populer di Tiongkok, dan banyak sekali wisatawan Tiongkok yang berlibur ke Korea dengan tujuan utama untuk operasi plastik.


Xiaomi

Setelah era kejayaan Samsung berakhir, Xiaomi menggantikannya menjadi vendor smartphone terlaris di Tiongkok. Antara 2014 dan 2015, semua media dan konsumen begitu tertarik dengan merek ini. Tetapi hal-hal itu telah berbeda saat ini. Menurut analisa dari perusahaan riset pasar Counterpoint, vendor smartphone yang berbasis di Beijing tersebut telah mengalami penurunan penjualan hingga 38% di Tiongkok dibandingkan dengan tahun lalu.

Xiaomi sekarang berada di posisi kelima di pasar Tiongkok karena persaingan dari merek lokal lainnya semakin meningkat. Jadi perusahaan berusaha mencari pertumbuhan di luar negeri untuk bangkit, di mana pesaing terbsar mereka Huawei telah jatuh pada masa-masa sulit karena pembatasan perdagangan oleh AS.

Xiaomi membangun mereknya di Tiongkok dengan menawarkan smartphone murah dengan spesifikasi hardware yang baik. Tetapi semua vendor smartphone kini bisa meniru strategi ini dengan mudah, mengingat Xiaomi juga tidak membuat sendiri sebagian besar model smartphone mereka. Merek seperti Opppo dan Vivo dari BBK Electronics, bersama dengan Honor yang merupakan sub-merek dari Huawei, kemudian membanjiri pasar dengan smartphone kelas bawah dan menengah, kadang-kadang dengan fitur dan desain yang berani untuk menarik lebih banyak perhatian konsumen.

Xiaomi kemudian mengikuti taktik Huawei dengan menciptakan sub-merek murah dengan nama sendiri Redmi. Sub-merek ini juga telah mencoba untuk naik kelas ke yang lebih atas, tetapi semuanya belum berjalan dengan lancar. "Huawei dan Apple telah memegang jejak yang kuat di pasar premium Tiongkok dan kekakuan pengguna di sana [pada satu merek] sangat kuat," kata Flora Tang, seorang analis riset di Counterpoint. "Tidak mudah bagi Xiaomi untuk mengambil pangsa pasar dari mereka."

Karena pangsa pasar Xiaomi di dalam negeri telah berkurang, Huawei kemudian bisa terus naik untuk menciptakan sejarah dengan menguasai 40% dari pasar smartphone di Tiongkok. Ini terjadi ketika konsumen di Tiongkok mulai bersatu menunjukkan nasionalisme mereka di sekitar raksasa teknologi dalam negeri tersebut setelah AS menempatkan perusahaan yang didirikan oleh Ren Zhengfei, mantan insinyur di PLA (Tentara Pembebasan Rakyat, garda militer yang langsung berada di bawah komando Partai Komunis Tiongkok), pada daftar entitas yang dilarang untk membeli teknologi AS, seperti aplikasi dan layanan dari Google Mobile Services (GMS) untuk Android.

Tidak seperti konsumen di pasar dalam negeri, pengguna smartphone di luar Tiongkok sangat membutuhkan ponsel Android yang dilengkapi dengan Google Play Store, Google Maps, YouTube dan layanan buatan Google lainnya yang ada di GMS. Dan untuk saat ini, Huawei tidak bisa menghadirkan semua itu. Sehingga larangan buat Huawei berubah menjadi peluang bagi Xiaomi.

"Memang benar bahwa krisis Huawei di pasar luar negeri dapat memberikan peluang bagi merek Android lain untuk mendapatkan pangsa pasar yang telah hilang direbut Huawei," kata Tang.


Xiaomi telah membuat acara peluncurkan smartphone pertama mereka di Berlin bulan lalu, ketika menghadirkan Redmi Note 8 Pro. Jerman adalah salah satu pasar ponsel terbesar di Eropa Barat. Tapi dorongan Xiaomi ke Eropa bukanlah hal baru. Perusahaan yang didirikan oleh Lei Jun pada tahun 2010 ini telah berkembang di benua itu sejak paruh kedua tahun 2018. Berdasarkan data dari Counterpoint, penjualan Xiaomi telah tumbuh 27% dibandingkan dengan tahun lalu dengan dukungan dari perusahaan telekomunikasi 3 Group Europe milik konglomerat Hong Kong CK Hutchison dan saluran ritelnya. Hasil ini membuat Xiaomi sekarang bertengger sebagai merek ponsel paling populer keempat di Eropa Barat.

Xiaomi juga membuka pusat R&D untuk mengembangkan teknologi kamera di Tampere, Finlandia pada bulan Oktober, di mana perusahaan asal Beijing ini kemungkinan akan fokus pada softwareuntuk meningkatkan kamera smartphone. Xiaomi baru-baru ini meluncurkan CC9 Pro menjadi berita utama di berbagai media internasional sebagai smartphone yang pertama menghadirkan kamera 108 megapiksel, dengan menggunakan sensor ISOCELL terbaru dari Samsung.

Xiaomi tidak hanya berfokus pada Eropa, karena perusahaan ini juga masih mengalami pertumbuhan yang menjanjikan di bagian lain dunia. Xiaomi masih menjadi merek smartphone teratas di India - dimana mereka bisa menjual 12 juta smartphone di sana pada bulan Oktober. Xiaomi juga telah menyebar ke Rusia dan Afrika, dan berencana untuk berekspansi ke Jepang tahun depan.

Dan meskipun kehilangan pangsa pasar di kandang sendiri, Xiaomi masih cukup baik di sana. Seri Redmi K20 masih bisa terjual 4 juta unit dalam empat bulan. Untuk membantu memenangkan persaingan, Xiaomi berencana untuk meluncurkan lebih dari 10 ponsel 5G pada tahun 2020. Tetapi satu tantangan besar bagi keinginan Xiaomi di luar negeri adalah untuk bisa meyakinkan orang Eropa bahwa perusahaan Tiongkok tersebut dapat melindungi data pengguna, yang telah menjadi masalah bagi Huawei.