Penutupan pabrik di Huizhou berarti Samsung sekarang tidak memiliki lini manufaktur handset di Tiongkok, yang mendorong spekulasi tentang alasan yang mendasarinya, dengan beberapa mengatakan bahwa gesekan perdagangan Tiongkok dan Amerika Serikat (AS) telah menyebabkan penarikan Samsung dari pasar Tiongkok.
Menurut media Tiongkok, argumen ini tidak benar. Samsung telah mulai menutup pabrik ponselnya di Tiongkok sebelum friksi perdagangan Tiongkok-AS untuk membangun kembali basis manufakturnya di Vietnam. Selain itu, pabrik Samsung di Huizhou tidak mengekspor ke Amerika Serikat dan karenanya tidak terpengaruh oleh kebijakan tarif AS.
Tidak seperti Apple, Samsung memiliki rantai pasokan buatan sendiri dan membuat komponen intinya di dalam negeri mereka, sementara sebagian besar pabriknya yang di luar negeri untuk perakitan, sehingga tetap sangat sensitif terhadap biaya tenaga kerja di luar negeri. Karena upah terus meningkat di Tiongkok, wajar bagi Samsung untuk pindah ke tempat lain dengan biaya tenaga kerja yang lebih murah.
Mengapa Apple tidak menarik diri dari Tiongkok bukan karena tertarik oleh upah tenaga kerja yang rendah di Tiongkok, tetapi karena mereka telah membentuk sistem rantai pasokan yang matang di Tiongkok, yang berarti jika mereka memindahkan produksinya dari Tiongkok, efisiensi rantai pasokan dan keunggulan inovasi yang mereka bangun selama bertahun-tahun akan hilang.
Sebelum penarikan dari Tiongkok, smartphone Samsung memiliki kurang dari 1 persen dalam hal pangsa pasar mereka di Tiongkok, yang berarti produksinya di Tiongkok sudah tidak ada artinya. Oleh karena itu, menurut media di Tiongkok, penutupan pabrik-pabrik handset Samsung di Tiongkok sebenarnya adalah hasil dari kegagalan pengembangan pasar merek di Tiongkok dengan latar belakang naiknya merek smartphone domestik Tiongkok, seperti Huawei.
Namun Samsung sebenarnya bukan cuma perakit handset saja, melainkan perusahaan rantai industri secara keseluruhan dengan teknologi inti. Kecuali untuk Huawei, sebagian besar komponen ponsel yang paling mahal yang digunakan oleh produsen Tiongkok seperti Xiaomi, OPPO, vivo, realme dan lainnya, mulai dari chip semikonduktor hingga panel, semuanya dipasok oleh Samsung, yang membuat Samsung bisa meraup keuntungan lebih dari 300 miliar yuan (sekitar 600 triliun rupiah) dalam waktu setahun di Tiongkok hanya dengan menjual komponen. Itu berarti bahwa bahkan tanpa perlu menjual smartphone satupun di Tiongkok, Samsung tetap mendapat untung besar dari pasar Tiongkok.
Tahun lalu, Samsung Electronics melaporkan penjualan sebesar 27,7 triliun won (sekitar 357 triliun rupiah) selama periode Januari-Juni 2018 dari pasar Tiongkok, atau sekitar 32,7 persen dari total penjualan untuk pasar global yang sebesar 83,92 triliun won (sekitar 1,1 kuadriliun rupiah). Ini berarti untuk pertama kalinya Tiongkok muncul sebagai pasar terbesar Samsung melampaui benua Amerika.
Pendapatan Samsung Electronics di pasar Tiongkok terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Raksasa teknologi Korea ini memperoleh hanya 18,5 persen dari seluruh penjualannya dari Tiongkok lima tahun lalu (2013), tetapi pangsa pasarnya terus meningkat menjadi 20,6 persen pada 2014, 23,4 persen pada 2015, 23,9 persen pada 2016 dan 28,3 persen pada 2017. Berbeda dengan laporan dari media Tiongkok, dalam laporan Samsung malah menyebutkan kalau Huawei menjadi salah satu dari lima klien teratas mereka.
Hingga saat ini, Samsung masih terus mempertahankan kehadirannya yang kuat dalam rantai pasokan industri handset Tiongkok, dan telah berinvestasi besar-besaran di Tiongkok dalam beberapa tahun terakhir, dengan investasi baru senilai $22,8 miliar (sekitar 320 triliun rupiah) antara tahun 2013 dan 2018, terutama di bidang semikonduktor, baterai, dan kapasitor keramik multilayer. Daya saingnya Samsung sejauh ini masih belum melemah oleh hilangnya pasar smartphone mereka di Tiongkok.
Menurut seorang pengamat industri di Tiongkok, negaranya dapat menarik pelajaran berharga dari Samsung, karena produksi di Tiongkok masih terjebak dalam tahap perakitan smartphone yang memiliki keuntungan yang rendah. "Ketika pasar Tiongkok mulai jenuh, perlu untuk mengembangkan ke bidang teknologi inti hulu, meningkatkan daya saing inti negara, dan memasuki kompetisi pasar internasional," kata pengamat ini.