Kobalt makin mahal, baterai Samsung SDI akan gunakan nikel dan barang bekas


Produsen baterai Samsung SDI mencoba untuk memotong penggunaan kobalt dalam baterai lithium-ion buatannya saat harga kobalt melonjak. Kobalt adalah bahan inti katoda dalam baterai lithium-ion yang digunakan untuk menyalakan mobil listrik dan ponsel.

Menurut Samsung SDI, harga kobalt di pasar internasional telah meningkat karena perang sipil bertahun-tahun yang terjadi di Republik Demokratik Kongo, yang menyumbang 60 persen produksi kobalt dunia. Harga juga naik seiring pasar mobil listrik yang terus tumbuh. Harga kobalt meroket dengan peningkatan sekitar 235 persen dalam hitungan tahunan dari $34.600 (sekitar 471 juta rupiah) per ton pada Januari tahun lalu menjadi $81.360 (sekitar 1,1 ,iliar rupiah) bulan lalu.

Anak perusahaan dari Samsung Group ini telah berusaha mengatasi kenaikan harga dengan menandatangani perjanjian pasokan jangka panjang dengan pemasok kobalt dan dengan mengubah persyaratan kontrak dengan pelanggannya sehingga kenaikan harga kobalt dapat tercermin dalam harga baterai.

Sebagai strategi jangka panjang, Samsung SDI mencoba mengurangi penggunaan kobalt dan menambahkan lebih banyak nikel ke baterainya. Sementara kobalt menyumbang lebih dari 20 persen material dalam katoda, Samsung SDI berharap dapat menurunkan proporsinya menjadi kurang dari 10 persen dengan menggantinya dengan nikel yang lebih murah.

"Kami telah menetapkan fokus penelitian dan pengembangan secara dramatis untuk mengurangi penggunaan kobalt," kata seorang pejabat tinggi dari Samsung SDI.

Samsung SDI juga sedang dalam pembicaraan dengan sejumlah perusahaan pendaur ulang sumber daya di dalam dan luar negeri untuk bisa mendaur ulang kobalt dari smartphone yang dibuang. Menurut analis Suba Arunkumar dari perusahaan konsultan Frost & Sullivan, hampir 15 persen konsumsi kobalt di Amerika Serikat berasal dari daur ulang bahan bekas pakai.